Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Korupsi Tuntas Tanpa Aturan Tegas, Yakin?

×

Korupsi Tuntas Tanpa Aturan Tegas, Yakin?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Melisa
(Aktivis Dakwah)

MATA JURNAIS NEWS – Harapan menghilangnya kasus-kasus korupsi di Indonesia nampaknya sangat nihil, terlihat bagaimana kasus yang sebelumnya belum usai namun muncul kembali kasus serupa. Sederet kejadian ini membuat masyarakat geleng-geleng kepala kerena makin maraknya dalam berbagai modus dan bentuk. Uang hasil korupsi pun jumlahnya selalu bernilai fantastis.

Kasus korupsi di Indonesia memang tak pernah berhenti. Ditambah berita yang baru-baru ini diturunkan (SuaraMerdeka.Com) 4/10 mengenai penagkapan terhadap seluruh tersangka penyuap Hakim Agung Sudrajad Dimyati (SD) dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).

Sebagai penerima adalah SD, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS pada kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Hbibie (MH), serta dua PNS MA Nurmanto Akmal (NA) dan Albasari (AB) sedangkan sebagai pemberi adalah Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno masing-masing selaku pengacara. Dan dua pihak swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana IDKS dan Heryanto Tanaka (HT).

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan KPK saat ini telah menahan seluruh tersangka dan proses penyidikan terus dilakukan, pengumplan bukti serta pemanggilan saksi.

Kasus korupsi yang membubung tinggi bukan satu-dua kali saja instansi pemerintah terdampak kasus ini, nyaris seluruh sudut menyemburkan aroma busuk korupsi. Dalam beberapa penampakan, strategi untuk memberantas korupsi pun selalu disiulkan. Mulai dari studi banding, mendirikan lembaga antikorupsi, hingga merumuskan regulasi yang bersifat preventif dan penetapan sanksi bagi para koruptor.

Pada kasus suap perkara di MA pun menambah deretan formula baru, seperti yang di canangkan Mentri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengatakan pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia.

Hal tersebut dilakukan untuk melakukan reformasi hukum peradilan pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Mahfud menjelaskan, konsep besar sistem lembaga peradilan ini akan di susun setelah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Ddisahkan akhir tahun 2002. (Kompas.com) 04/10
Kasus korupsi ataupun transaksi haram suap-menyuap adalah rahasia umum.

Wajar jika korupsi tidak lebih dari lingkaran yang tidak berujung, ditambah adanya beberapa penyebab yang mewadahi kejahatan ini sampai lost control.

Pertama, vonis yang terlalu ringan. ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat sepanjang tahun 2015 rata-rata masa tuntutan tahanan yang ditujukan kepada para koruptor hanya 3 tahun 6 bulan penjara.

Kedua, masih bisa menerima gaji pensiunan. Hal yang cukup menjengkelkan bukan, sebab mereka masih tetap menerima gaji pensiunan meskipun telah berstatus pidana. Padahal mereka telah menyalahi dan melanggar tugas mereka sebagai pejabat Negara.

Ketiga, tidak adanya lembaga anti korupsi yang hebat. Di Indonesia terdapat lembaga yang ditugaskan untuk menangani tindak pidana korupsi. Dan mungkin semua setuju bahwa kinerja dan prestasi komisi ini cukup luar biasa. Banyak kasus korupsi yang sudah di bongkar. Tetapi apa sudah merasa yakin bahwa komisi tersebut sudah hebat? Tampaknya belum.

Mengapa? karena ICW mencatat bahwa kerugian negara sebesar Rp 39,2 triliun dari praktik korupsi sepanjang semester I tahun 2020.
Miris sekali, seperti inilah buah dari penerapan sistem demokrasi. Yang berpangkal pada paham kebebasan dan pemisahan politik dari agama (sekuler-liberal). Keadaan kian parah dengan hukum yang ada. Sebab aturan yang berlaku belum memberi efek jera bagi pelaku. Hukuman diberlakukan seakan hanya pelengkap formalitas.

Lihat saja beberapa kasus korupsi besar, para pelakunya banyak mendapat pengurangan masa tahanan. Koruptor kelas kakap semisal Harun Masiku belum juga bergeser dari status buronan. Penegakan hukum ini menandakan kurangnya aturan tegas dalam sistem demokrasi.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam mampu menjadi solusi komparatif yang akan menutup pintu bagi asas sekuler-liberal dan diganti dengan asas akidah Islam. Keyakinan pada Allah SWT yang mewujudkan ketaatan pada syariatNya, termasuk syariat yang mengatur pemerintahan. Sehingga mampu meminimalkan bahkan menihilkan munculnya para koruptor. Hal ini di topang dengan banyak langkah dalam sistem Islam.

Pertama, sistem pendidikan Islam yang yang mengutamakan halal haram sebagai tumpuan yang akan membangun keimanan individu maupun kelompok.

Kedua, dalam pemilihan menjadi pejabat, Islam menetapkan pejabat negara harus seorang muslim yang sudah terjamin keimanannya. Mereka paham arti amanah dan tanggung jawab dihadapan Allah. Mereka pun memahami bahwa tugas utamanya ialah melayani rakyat bukannya mengeruk harta.

Ketiga, hukuman yang akan diberikan bagi pelaku bersifat jawabir (penebus) dan zawajir (pencegah), sehingga orang tidak akan berani korupsi sebab takut akan sanksi yang ditetapkan qadhi.

Keempat, memberi edukasi melalui media secara terus menerus, baik dengan pengokoh nafsiyah, tsaqafah, ataupun edukasi lainnya. Hal ini bertujuan dalam meningkatkan keimanan msayarakat. Sehingga mereka pun tidak diam ketika melihat pejabat korupsi.

Korupsi dalam Islam adalah mutlak ke haramannya. Karena itu harus ditinggalkan, jika tidak pelakunya akan mendapat sanksi yang menjerakan. Mohammad Hashim Kamali dalam Islam Prohibits All Forms of Corruption menulis, Khalifah Bani Abbasiyah Jafar al-Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani persoalan korupsi dan suap. Pada masa Bani Utsmaniyah, juga dibentuk pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara.

Koruptor dipaksa untuk mengembalikan harta yang diterima secara illegal. Penerima, pemberi dan mediator suap/korupsi diganjar hukuman pencopotan dari jabatan atau penjara. Pengasingan juga dilakukan sebagai bentuk hukuman lainnya.

Inilah garis besar pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam islam yang bukan sekedar wacana, namun telah terbukti dalam rentetan sejarah peradaban Islam. sekarang sisa kerendahan hati unuk mendiskusikan Islam sebagai sistem pemerintahan dalam mimbar-mimbar diskusi sebagai langkah untuk menemukan solusi mewujudkan negara bebas korupsi. Wallahu a’lam bishshawab. (*)