Barru, Sulsel – Dalam upaya menyampaikan pendapat terkhususnya terkait persoalan kondisi kebangsaan aksi demonstrasi kerap dilakukan sebagai bentuk respon terhadap kondisi bangsa atau negara yang sedang tidak baik-baik saja.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Tidak hanya itu, aksi protes juga kerap digaungkan diberbagai media.
Namun tak jarang narasi-narasi yang berbau kritik kerap mendapatkan intimidasi dari mereka yang merasa terancam kekuasaannya.
Seperti halnya yang dialami oleh media TEMPO yang mendapatkan teror mulai dari teror kiriman kepala babi, pengrusakan kaca mobil, hingga kiriman bangkai hewan.
Teror tersebut diyakini sebagai bentuk intimidasi penguasa terhadap TEMPO dikarenakan kerap mengkritik kebijakan pemerintah.
Tindakan teror tersebut bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sedangkan untuk aksi demonstrasi atau aksi unjuk rasa yang kerap digelar di jalan yang juga merupakan bagian dari tumpahan kemarahan terhadap penguasa yang tak jarang enggan untuk mendengarkan suara rakyat.
Sebagai contoh ditengah massifnya gerakan penolakan terhadap RUU TNI. DPR RI tetap mengesahkan RUU TNI menjadi Undangan-Undang. Pembahasan RUU TNI yang sebelumnya diadakan secara tertutup dan tergesa-gesa dilakukan di sebuah Hotel mewah ditengah efisiensi anggaran sebelum dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan.
Berbagi gelombang protes baik dalam bentuk aksi demonstrasi dari masyarakat terkhususnya mahasiswa terhadap keputusan DPR RI terus dilakukan, namun tak jarang massa aksi sering kali mendapatkan tindakan represif dari aparat penegak hukum, bahkan tak jarang berujung pada penangkapan terhadap mereka yang tengah menyuarakan aspirasinya.
Tentunya hal ini merupakan sebuah bentuk tindakan pembungkaman terhadap demokrasi dan sempitnya ruang gerak bagi masyarakat sipil.
Ironisnya, pembungkaman demokrasi itu dilakukan oleh penguasa yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung/pemilihan umum (Pemilu).
Padahal demokrasi bukan soal angka yang diperoleh pada saat pemilihan, melainkan bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.
Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukannya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk penguasa.
Kekhawatiran kita adalah jangan sampai sejarah kelam zaman orde baru (Orba) bangkit kembali dengan wajah baru.
Orde baru paling baru yang bisa saja membungkam kritik dan memenjarakan kebebasan kita dalam ketundukan dan kepatuhan militerisme.
Sejarah mencatat bahwa zaman orde baru telah banyak mengakibatkan masyarakat sipil kehilangan nyawa hanya karna bersuara, dan tragisnya banyak dari mereka yang pada saat itu bersuara masih belum diketahui keberadaannya sampai sekarang. Tentunya kita tidak menginginkan hal itu terulang kembali ditengah rezim yang berkuasa saat ini.
Satu hal yang harus kembali kita sadari bahwa kekuasaan tertinggi di sebuah negara ada di tangan rakyat.
“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan” -Pramoedya Ananta Toer