MATA JURNALIS NEWS.COM – Narasi kebenaran sejati bagian dari perjalanan manusia, khususnya dalam peradaban sepanjang masa.
Tidak ada peradaban terbangun tanpa narasi yang menjadi satu kesatuan baik sebagai pedoman, sandaran sampai penghiburan. Sebab narasi adalah penting, maka penafsiran atau improvisasi atasnya adalah adalah bagian lainnya atau bukan yang utama.
Sayangnya kebenaran sering dinarasikan secara sederhana bahkan ditempatkan dalam kolom remeh-temeh dalam berbagai ruang.
Maka sikap terhadapnya pun menjadi beragam, ada yang menganggap sepele, sampai guyonan bahkan ejekan. Sangat disayangkan! Kolom-kolom yang harusnya mengutamakan narasi utama berupa kebenaran terisi penuh oleh improvisasi.
Namanya improvisasi atau penafsiran atas kebenaran, maka ide yang mengisi kolom tersebut jadi lah picisan. Tidak serius dan hanya “improve oriented” yang menggunakan kelihaian dan sedikit kreativitas atau kepintaran mengolah kata-kata atau narasi tersebut. Berdampak tentu saja meski dalam istilah Ilmu Filsafat dikenal Sistematis, Holistik dan Komprehensif tentu jauh.
Kebenaran sesungguhnya sebenarnya adalah narasi penuh kemuliaan yang harus diutamakan agar esensi peradaban yang memiliki jejak dan dapat dimanfaatkan orang banyak dan generasi mendatang.
Sebab lagi-lagi, jauh sudah tentu, ide picisan akan menghasilkan realita-realita senada terutama yang merupakan asal para pembacanya atau penyaksinya, seperti kenyataan serupa sinetron terbalik, berita pembantaian bayi dan perempuan Gaza, dan kabar kematian cara larung di laut pengungsi Rohingya yang ditolak di mana-mana.
Saatnya narasi kebenaran diutamakan dan sudah semestinya diberikan ruang, bila perlu mengabaikan pertimbangan keindahan dan kepiawaian dalam mengolah narasi-narasi sebab hanya picisan dan bukan merupakan sebagai keseriusan berupa narasi kebenaran termaksud.
Meski kebaikan dapat juga dihasilkan dari narasi-narasi picisan selain juga dapat sebaliknya, semisal sekedar hiburan sebab akan melenakan, atau pedoman yang membosankan dan tidak memberikan solusi dengan pola dan materi terulang serupa bukan komprehenensif, holistik, dan sistematis atau lebih dari itu berupa mulia. Jadi bukankah dapat merepotkan dan bahkan tidak perlu?!
Mengembalikan peran dan fungsi utama Narasi dengan tanpa menghilangkan apa yang disebut dalam Narasi jejak-jejak. Narasi yang diutamakan berupa kebenaran-kebanaran diharapkan dapat membawa hasil sebagaimana tersebut di atas secara sesungguhnya!
Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)