Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
PendidikanPolitik

Ada apa dengan “Dirty Vote” ?

×

Ada apa dengan “Dirty Vote” ?

Sebarkan artikel ini
Ramzi

MATAJURNALISNEWS.COM – Dirty Vote adalah sebuah film dokumenter yang kerap jadi perbincangan akhir-akhir ini. Film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono yang diperankan oleh tiga ahli hukum tata negara yaitu Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti. Dirty Vote yang apabila diterjemahkan berarti “Suara Kotor” atau “Pemilihan Kotor”.

Sebelumnya Dandhy Laksono juga pernah membuat sebuah film dokumenter yang berjudul “Sexy Killers” yang ditayangkan perdana menjelang Pilpres 2019 lalu. Kemudian film Dirty Vote juga dipublikasikan menjelang Pilpres 2024. Di dalam film tersebut menampilkan beberapa data-data faktual yang ada di lapangan terkait kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh beberapa paslon yang ikut serta dalam gelanggang kontestasi Pilpres tahun ini. Ketiga ahli hukum tata negara ini memperlihatkan bagaimana penggunaan berbagai instrumen kekuasaan untuk tujuan memenangkan Pilpres.

Pulau Papua yang sebelumnya hanya memiliki dua provinsi, kini telah mempunyai empat provinsi baru dan keempat provinsi tersebut langsung diikutsertakan dalam Pemilu. Berbeda dengan provinsi Kalimantan Utara yang telah terbentuk sejak tahun 2013 namun baru diikutsertakan dalam Pemilu setelah enam tahun terbentuk, yaitu pada Pemilu 2019.

Kemudian terkait penunjukan 20 PJ (Penjabat) Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden pada dasarnya tidak mematuhi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang dimana MK menentukan bahwa dalam proses penunjukan Penjabat (PJ) harus dilakukan secara terbuka dan mendengarkan aspirasi Pemerintah Daerah dan Masyarakat Daerah. Namun yang terjadi penunjukan tersebut telah melakukan maladministrasi. Tentunya ini tidak terlepas dari permainan relasi kekuasaan yang digunakan untuk maksud dan tujuan tertentu.

Bahkan tak sedikit dalam film tersebut menjukkan bukti-bukti berupa rekaman suara dan video yang memperlihatkan PJ Gubernur, PJ Bupati dan seorang Menteri secara terang-terangan mengkampanyekan paslon tertentu.

Ribuan Kepala Desa yang tergabung dalam organisasi Desa Bersatu juga secara terang-terangan mendeklarasikan dukungan kepada paslon tertentu. Dalam skala Desa, Kepala Desa memiliki wewenang yang berpotensi disalah gunakan dalam Pemilu yaitu Data Pemilih, Penggunaan Dana Desa, Data Penerima Bansos, PKH, BLT dan Wewenang Alokasi Bansos.

Menjelang Pemilu, Bansos (Bantuan Sosial) mengalami peningkatan yang diberikan oleh Pemerintah. Pada bulan januari penyaluran Bansos telah menghabiskan 78,06 T. Pada dasarnya Bansos ditujukan sebagai implementasi dari sila ke lima Pancasila yaitu keadilan sosial dan pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Namun Bansos menjelang Pemilu dijadikan sebagai alat politik untuk menjaring suara terhadap salah satu paslon.

Pemberian Bansos semestinya harus sesuai dengan struktur kenegaraan, dalam hal ini harus melalui Kementrian Sosial. Namun data Kementrian Sosial yaitu data kesejahteraan terpadu tidak digunakan dalam penyaluran bansos ini.

“Politik Gentong Babi” yang mengacu pada masa perbudakan di Amerika Serikat, dimana orang-orang berebut daging babi yang telah diawetkan di dalam gentong. Di Indonesia sendiri pemberian Bansos menjelang Pemilu hampir sama dengan praktik Politik Gentong Babi yang menggunakan uang negara yang digelontorkan oleh para politisi untuk menjaring suara.

Pejabat negara yang tidak terdaftar sebagai Tim Kampanye seharusnya memperlihatkan kenetralannya dan mereka yang ikut atau sedang melakukan kampanye seharusnya tidak menggunakan fasilitas negara dalam berkampanye. Lagi-lagi panyalahgunaan wewenang dilakukan oleh mereka yang berkuasa.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang seharusnya mengawasi setiap tahapan penyelanggaraan Pemilu, dinilai telah gagal menjalankan tugasnya. Salah satunya terkait adanya deklarasi Desa Bersatu untuk mendukung salah satu paslon, namun Bawaslu hanya memberikan sanksi berupa teguran.

Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai lembaga yang berperan dalam menegakkan konsitusionalisme justru ikut terlibat dalam pelanggaran konsitusi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa calon wakil presiden dari salah satu paslon terkait usia pencalonan tidak memenuhi syarat pencalonan namun diloloskan dalam Pilpres. Perubahan undang-undang tersebut dilakukan tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk undang-undang sesuai pasal 20 UUD 1945.

Salah satu partai pengusung paslon mengajukan permohonan pengujian undang-undang Pemilu Pasal 169 huruf q yang mengatur tentang usia calon Presiden dan Wakil Presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun, yang dimana Ketua Umum Partai tersebut merupakan saudara dari calon wakil presiden dari salah satu paslon dan Ketua MK sendiri adalah pamannya.

Dari beberapa hal di atas, dapat kita ketahui bagaimana segala bentuk kecurangan dalam Pemilu dibungkus dengan sedemikian rapinya. Semua dikemas secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Melalui film “Dirty Vote” kita seakan-akan diberikan sebuah pendidikan politik untuk memahami bagaimana skema kekuasaan bermain dalam mempertahankan status quo mereka. Seperti yang dibahasakan oleh Max Weber bahwa kekuasaan adalah sebuah kesempatan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk memenuhi keinginan atau kehendaknya dalam hubungan sosial walaupun harus menentang atau menghadapi kehendak orang lain.

Terlepas dari siapa pun yang kita pilih di balik bilik suara, tentunya kita tidak ingin rezim yang berkuasa hanya berganti wajah namun penindasan, eksploitasi, perampasan ruang hidup, perampasan hak berpendapat, dan represifitas aparat yang masih terjaga harus segera binasa.

(Penulis Ramzi)